Jumat, 19 Oktober 2012

Menyoal Proyek Digitalisasi Penyiaran


Keputusan pemerintah mengeluarkan Permen Kominfo No.22/2011 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Televisi Digital Terestrial Penerimaan Tetap Tidak Berbayar (Free To Airbelakangan membuat semakin gaduh dunia penyiaran di Indonesia.  Keinginan pemerintah untuk mendorong sistem penyiaran analog menjadi sistem penyiaran digital sebetulnya bisa dipahami secara rasional sebagai sebuah kebutuhan untuk memajukan industri penyiaran yang masih berbasis analog. Analog saat ini dinilai sudah tidak lagi sejalan degan kemajuan zaman yang menuntut serba sempurna, ringkas, dan cepat. Kesempurnaan televisi digital dinilai beberapa pengamat merupakan keniscayaan untuk menjamin industri ini akan dimainkan oleh pasar yang makin beragam. Prinsip diversity of content dan diversity of ownnership pun akan makin terasa dengan adanya televisi digital ini.

Jika digitalisasi dilakukan di Indonesia saat ini, maka setiap kanal yang ada dapat diisi oleh dua hingga sepuluh programa atau stasiun. Saat ini untuk kota kecil di Indonesia disediakan 7 kanal analog, sedang kota besar mencapai 14 kanal analog. Dengan digital, satu saluran analog tersebut dapat menampung dua hingga sepuluh saluran televisi. Ini berarti dalam satu kota kecil saja dimungkinkan akan ada tambahan kanal yang makin melonjak menjadi sekitar 70 kanal.


Bila dibandingkan, Indonesia dan negara-negara berkembang lain memang bisa dikatakan terlambat soal digitalisasi televisi ini. Sebanyak 120 negara dari Eropa, Timur Tengah dan lainnya telah menyatakan sepakat untuk beranjak dari sistem analog ke digital melalui kesepakatan Geneva Agreement tahun 2006 (GE06). Salah satu poin kesepakatan ini adalah ditentukannya batas waktu migrasi dari sistem analog ke sistem digital, yaitu Juni 2006 - Juni 2015. Sementara itu, sistem hukum di negara kita tidak memungkinkan GE06 serta merta berlaku sebagai hukum positif. Sehingga perjanjian tersebut tidak dapat dijadikan dasar hukum untuk menghasilkan regulasi baru. Indonesia hanya dapat terikat bila menyatakan melakukan “aksesi (accession)” atau menyatakan mengikatkan diri pada perjanjian tersebut. Untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian internasional wajib memperoleh pertimbangan dan persetujuan DPR (Pasal 11 UUD 1945).


Lalu bagi Indonesia, masalah apa yang kira-kira akan muncul atas proses migrasi analog ke digital ini? Migrasi ini dikhawatirkan akan berdampak serius terhadap lembaga penyiaran khususnya penyiaran lokal, komunitas, dan juga masyarakat kelas menengah ke bawah. Dampak serius tersebut diprediksikan berupa kerugian bagi lembaga penyiaran lokal yang terlanjur telah menginvestasikan banyak biaya untuk menunjang penyiaran analog seperti untuk pembangunan tower misalnya. Dengan diberlakukannya digitaliasai, otomatis tower-tower tersebut tidak terpakai lagi, karena semua materi siaran akan dipancarkan oleh Lembaga Penyiaran Penyelenggara Penyiaran Multipleksing (LP3M), dan hal itu membutuhkan biaya lagi yang tidak sedikit. Bagi lembaga penyiaran komunitas, untuk ikut bermigrasi ke penyiaran digital, dapat dipastikan mereka tidak akan sanggup untuk melakukannya, karena pasti terkendala dengan masalah dana maupun infrastrukturnya.


Bagi masyarakat sendiri, mereka tentu harus mengeluarkan biaya tambahan untuk melengkapi televisi yang selama ini digunakan dengan alat bernama Set Top Box agar dapat menikmati siaran televisi digital. Persoalannya adalah harga Set Top Box itu tidaklah murah. Memang muncul ide simulcast yakni bersiaran analog dan digital secara bersama sebagai transisi menuju digitalisasi secara menyeluruh dimana pemerintah menargetkan akan selesai tahun 2018. Namun, hal ini diperkirakan akan membuat industri stasiun televisi harus mengeluarkan banyak biaya untuk siaran.


Disinilah maka pemerintah dirasa belum siap menata proses migrasi dan terkesan terburu-buru dalam menanganinya. Termasuk dalam menetapkan regulasi mengenai hal ini yang “hanya” dengan Peraturan Menteri dan tidak menunggu proses revisi Undang-Undang Penyiaran selesai dibahas. Apalagi hal ini memiliki implikasi yang sangat luas terhadap kehidupan masyarakat, tidak sekadar proses (teknis) migrasi teknologi saja. Bila dilihat dari kacamata yang lebih tajam, patut dicurigai adanya motif politk dan ekonomi yang cukup besar dibalik proses ini. Hal ini dapat dilihat dari:


Pertama, digitalisasi penyiaran televisi ini membutuhkan perangkat multiplexing untuk memancarkan program siaran dari stasiun, dan juga set top box disetiap televisi untuk menerima siaran digital. Dengan kebutuhan peralatan yang begitu besar khususnya set top box yang nantinya wajib ada pada setiap televisi, bila dimanfaatkan dengan baik, maka ini dapat menjadi peluang ekonomi yang sangat besar khususnya bagi industri dalam negeri. Bayangkan, berapa banyak jumlah kebutuhan alat itu? Tentunya berada dikisaran ratusan juta unit. Namun, dengan potensi sebesar itu, yang menjadi pertanyaan adalah perusahaan milik siapa yang akan memproduksinya? Siapa yang akan diuntungkan? kekhawatirannya adalah, begitu rawannya permainan tender proyek pengadaan alat tersebut oleh mafia-mafia politik dalam mendulang modal untuk kampanye 2014.


Kedua, digitalisasi penyiaran televisi ini akan membuka kembali peluang bagi orang yang ingin memiliki televisi yang bersiaran secara nasional. Sebagaimana diketahui, saat ini dengan sistem penyiaran analog, frekuensi untuk bersiaran secara nasional sudah penuh dengan 11 stasiun televisi yang sudah ada sekarang. Dari 11 stasiun televisi tersebut, mayoritas dimiliki oleh tokoh-tokoh dari berbagai partai politik. Grup yang menguasai industri pertelevisian di Indonesia tersebut yakni grup bakrie dengan stasiun televisi TV One, ANTV, dan Jak Tv yang notabene adalah milik Ketua Umum Partai Golkar. Ada lagi grup lain yang memiliki SCTV, Indosiar, dan O Channel. Sedangkan, MNC memiliki Global TV, RCTI, dan MNC TV dimiliki oleh Dewan Pembina Parta Nasdem, sekaligus Metro tv milik Ketua Dewan Pembina partai tersebut. Terakhir yakni grup Trans yang menaungi Trans TV dan Trans 7.


Hal ini erat kaitannya dengan kecemburuan parpol lainnya yang juga ingin memiliki stasiun televisi karena memang sangat menjanjikan secara ekonomi maupun sebagai sarana untuk membentuk opini publik yang sangat efektif. Apalagi saat ini, televisi masih menjadi media yang paling banyak digunakan oleh masyarakat untuk mendapatkan informasi. Dengan diberlakukannya digitalisasi penyiaran ini, besar kemungkinan nantinya parpol-parpol lainnya juga akan mendirikan stasiun televisi untuk menyemarakkan pertarungan politik di media. Bayangkan, bagaimana isi siaran televisi-televisi nantinya bila pemiliknya seluruhnya berasal dari partai politik? Publik pasti yang akan menjadi korban.


Jadi, dalam proses migrasi penyiaran analog ke digital ini, pemerintah haruslah mampu mengantisipasi segala kemungkinan terkait dampak yang akan ditimbulkan nantinya ke depan. Bagaimanapun juga frekuensi yang digunakan untuk bersiaran tersebut adalah milik publik. Maka pemerintah wajib mendahulukan kepentingan publik dibandingkan kepentingan-kepentingan lainnya. Bagi publik sendiri, bila tidak cermat dan cerdas dalam mengikuti perkembangan masalah ini, kedepan akan banyak kerugian yang tidak seharusnya ditanggung oleh publik secara luas.

Secercah Cahaya Dari Sosok Yang Berjasa (2)

Selangkah perjalanan meraih mimpi telah terlewati. Pengumaman kelulusan ujian SPMB 2006 benar-benar telah mengobarkan semangat hidupku kembali. Semangat untuk terus melanjutkan perjuangan agar dapat menggunakan almamater khas kampus hijau Universitas Lampung diakhir Agustus saat orientasi mahaiswa baru dilaksanakan. Termasuk juga semangat untuk melaksanakan nazar yang kuucapkan sebelum pengumuman kelulusan. Bila aku lulus SPMB, maka aku bernazar akan melaksanakan puasa senin-kamis selama 40 minggu dan membersihkan masjid depan rumah selama 2 bulan.

Saat itu aku sungguh sangat yakin, bahwa Allah swt memang telah menunjukkan jalan ini untuk aku lewati. Jalan yang mengharuskan aku agar segera bergerak cepat guna mendapatkan uang minimal Rp. 900.000,- untuk biaya registrasi kuliah. Kampus memberikan waktu 14 hari sejak pengumaman SPMB 5 Agustus 2006. Bila lewat dari tenggat waktu tersebut, maka calon mahasiswa dianggap mengundurkan diri.

Aku pun kemudian coba bergerak cepat guna mendapatkan sejumlah uang. Sehari setelah pengumaman aku memohon izin orang tua untuk pergi ke tempat saudara perempuanku di Bala Raja, Tangerang, Banten. Sebelum berangkat aku sudah lebih dulu menginformasikan kepada saudara perempuanku bahwa aku diterima di Unila dan hendak ke tempatnya. Dengan senang hati ia menyambut kabar itu. Tanpa beban, ia kemudian berkata akan memberikan sedikit uang agar aku bisa kuliah.

Ia bekerja sebagai buruh pabrik sepatu di sana. Sebetulnya aku sangat tidak tega meminta bantuan kepadanya, karena aku tahu penghasilannya perbulan tidaklah seberapa. Namun aku tidak memiliki banyak pilihan, saat itu aku membutuhkan uang secepatnya. Sosok yang telah memberikan cahaya harapan kepadaku yang kedua ini tidak lain adalah saudara perempuanku yang bernama Resti Purwati.

Sejak kecil aku memanggilnya dengan panggilan Eti, meski kalau lewat sms aku memanggilnya Teteh (seterusnya pake panggilan teteh.red). Usia kami hanya terpaut 13 bulan, karena ia lahir pada 25 Desember 1986. Ia dahulu pernah bersekolah di SMK 1 Juni Metro jurusan Sekretaris.

Ia tidak seberuntung aku saat ini. Ketika lulus SMK tahun 2005, sebetulnya tetehku memiliki keinginan besar untuk kuliah. Namun apa daya, orang tua tak memiliki biaya. Apalagi mindset orang tua dulu yang masih menganggap kalau wanita tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, karena ujung-ujungnya juga nanti hanya bekerja di dapur, sumur, dan kasur. Memang sangat kolot tapi di daerahku realitas seperti itu masih saja terjadi hingga kini. Hal yang membuat harapan tetehku untuk bisa kuliah semakin tertutup.

Oleh karena itu, pasca lulus sekolah, tetehku langsung mengikuti jejak bibiku untuk bekerja sebagai buruh pabrik di sana. Butuh waktu beberapa bulan sampai akhirnya tetehku mendapatkan pekerjaan sebagai buruh pabrik. Meski dengan sistem outsourching yang banyak membuat masa depan buruh menjadi tidak jelas, toh tetap saja bekerja sebagai buruh menjadi pilihan kebanyakan masyarakat perantau dari desa yang berharap mengubah nasib di kota. Tidak terkecuali dengan teteh dan beberapa saudaraku.

Setelah hampir 8 jam dari rumah melewati jalan panjang menaiki bus dan mengarungi lautan dengan kapal laut, akhirnya aku sampai di rumah kontrakan tetehku di Bala Raja. Tetehku ternyata telah menanti kehadiranku. Aku diberi sejumlah uang hasil menjual cincin emas yang bulan lalu ia beli. Cincin emas itu dibeli dari uang tabungan tetehku hasil dari sebagian gajinya yang ia sisihkan setiap bulan. Ia baru bekerja sekitar 5 bulan, dan hatiku sungguh sangat haru dan sedih menerima uang itu.

Namun, uang dari tetehku belumlah cukup untuk biaya registrasi kuliah, akhirnya aku meminjam sejumlah uang kepada bibiku yang juga tinggal di rumah kontrakan itu. Bibiku yang satu ini memang sangat mendukung aku untuk kuliah, sehingga dengan senang hati ia meminjamkan uang.

Tidak semua bibi atau pamanku mendukung aku kuliah. Selain bibiku yang serumah dengan tetehku, lainnya cenderung menasehatiku agar bekerja saja di Tangerang atau Jakarta. Niat mereka sebetulnya sangat mulia, karena mereka tahu bagaimana kondisi keluargaku saat itu. Bahkan, salah satu pamanku mengatakan sesuatu yang cenderung memukul balik semangatku untuk kuliah.

Pamanku yang puluhan tahun menjadi teknisi AC di suatu perusahaan berkata kalau di tempatnya bekerja banyak sekali sarjana-sarjana yang tidak bisa apa-apa. Bahkan banyak kenalannya yang menjadi tukang ojek, becak, bahkan menganggur meski memiliki gelar sarjana. “Kuliah atau enggak kuliah sama aja, ga ada bedanya,” ujar pamanku saat itu. Namun aku tidak peduli dengan semua itu, aku tetap dalam pendirianku, aku ingin kuliah untuk merubah nasib keluarga dan meraih visi besarku!

Akhirnya, aku pulang ke Lampung dengan membawa sejumlah uang. Uang tersebut tidak banyak, namun cukup untuk biaya daftar ulang, beberapa perlengkapan belajar, dan uang bensin untuk transportasi kuliah selama sebulan. Jarak rumahku ke kampus cukup lumayan jauh, sekitar 28 Km. Aku menggunakan motor yang masih belum lunas kreditannya untuk kuliah agar dapat menghemat ongkos.

Aku mencoba kuliah dengan sehemat mungkin. Aku harus menghemat karena ongkos transportasi dan makan seadanya cukup besar bila diakumulasikan sebulan. Aku tidak boleh mengeluarkan uang lebih dari Rp. 4000,- bila ingin bisa pulang sampai rumah. Karena bila lebih dari itu, maka jatah untuk membeli bensin tidak akan cukup. Untunglah di FISIP ada Kantin Emak yang punya menu dengan harga terjangkau namun tetap memiliki cita rasa yang enak (ah jadi kangen nasi pecel kantin emak…hmmh).

Selama semester pertama, orangtuaku menanggung ongkos kuliah. Untuk biaya lainnya seperti fotokopi, buku, dll aku mengandalkan uang dari hasil “bekerja” sebulan (lihat bagian 1.red) yang cukup untuk ongkos seminggu. Bersyukur, di semester pertama itu aku mendapatkan beasiswa PPA (Peningkatan Prestasi Akademik) dari kampus. Dari 10 orang mahasiswa yang dianggap memiliki nilai Ujian Nasional dan Raport yang bagus, aku satu diantara mereka. Meski tidak dapat menutupi biaya SPP semester kedua, namun uang beasiswa tersebut cukup meringankan biaya kuliahku.

Ujian sebenarnya dari perjuanganku ternyata hadir di awal semester kedua. Kondisi ekonomi keluarga semakin parah. Sampai-sampai orang tuaku terkena jebakan lintah darat. Aku yang saat itu sedang menjadi bagian dari utusan mahasiswa Ilmu komunikasi Unila dalam acara Musyawarah Nasional Ikatan Mahasiswa Ilmu Komunikasi Indonesia di Cibubur-Jakarta, mendapatkan telepon dari nomor tak dikenal.

Ternyata itu telpon dari ibuku. Suaranya terisak-isak penuh kesedihan. Ibuku memberikan kabar, kalau ia saat ini sudah berada di Riau. Ia sedang menunggu kapal yang akan memberangkatkannya ke Malaysia. Meski tidak diizinkan oleh ayahku, namun karena sifat ibu yang keras, ia tetap berangkat melalui kenalannya seorang wanita yang juga agen penyalur TKI ke Malaysia. Tentunya bukan pekerjaan disektor formal, karena ibuku hanyalah lulusan Sekolah Menengah Pertama. Sepanjang pembicaraan ditelpon tersebut ibuku menangis. Berkali-kali wanita mulia itu mengingatkanku agar menjaga adikku yang masih kelas 3 SD. Beliau bersikeras pergi untuk mencari uang agar keluarga tidak terus-terusan dihisap oleh lintah darat.

Aku sangat sedih, sangat emosional, juga sangat kecewa karena tidak mampu berbuat apa-apa untuk keluarga. Sejak saat itu aku semakin bertekad untuk bekerja keras agar dapat segera lulus kuliah dan mencari uang untuk mengurangi beban keluarga. Ujian itu semakin sulit lagi ketika tetehku yang selalu mendukungku mengalami sakit keras yang membuatnya harus berhenti bekerja.

Akhirnya ayahku menjemputnya pulang ke rumah untuk diobati. Tetehku sakit karena fisiknya lemah harus berangkat kerja seusai shalat shubuh dan pulang pukul sepuluh malam. Ayahku pun saat itu tidak bekerja karena tidak ada modal. Untuk bekerja di sektor formal rasanya tidak mungkin karena ayahku hanya sekolah sampai kelas 5 SD. Ini adalah salah satu fase tersulit yang pernah aku lewati selama hidupku. Berat, tapi saat itu aku selalu mengadu kepada Yang Maha Pemberi pertolongan. Sambil terus berusaha dan terus memelihara mimpi-mimpi yang sudah kutuliskan, aku yakin bahwa aku bisa mewujudkan itu semua!

Aku kembali teringat akan janji-Nya, “Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu kaum hingga kaum itu mengubah nasib mereka sendiri” (Ar’ad:11). Janji-Nya pasti, dan aku sangat percaya akan hal itu. Aku menyadari bahwa hanya mengeluh atas apa yang terjadi tidaklah akan mengubah apa-apa. Menghadapi persoalan dengan sabar dan ikhlas adalah cara yang ampuh untuk semakin mematangkan diri.

Apapun yang terjadi jam kehidupan akan terus berputar. Diantaranya ada menit yang harus dilalui dengan manis. Ada pula menit yang harus dilalui dengan pahit. Namun bila setiap detiknya dijalani dengan rasa syukur, maka aku yakin pintu-pintu rahmat dan pertolongan akan dibukakan oleh-Nya dengan cara yang tidak disangka-sangka. Dan aku sering kali merasakannya. Terimakasih banyak tetehku yang baik atas cahaya itu. J J J 

Minggu, 14 Oktober 2012

Secercah Cahaya Dari Sosok Yang Berjasa (1)

Bisa kuliah hingga jenjang pascasarjana adalah sebuah anugerah yang besar dalam hidupku. Salah satu anugerah terindah  dari Allah swt yang sangat-sangat aku syukuri. Karena dengan kuliah ini, aku begitu banyak mendapatkan ilmu dan pelajaran berharga dari dunia kampus. Merubah cara pandangku akan kehidupan. Meningkatkan kepekaan hatiku atas setiap keadaan. Dan yang paling utama, dapat bertemu dengan sosok-sosok yang begitu luar biasa dengan segala kelebihannya.

Bicara tentang sosok-sosok luar biasa, aku tidak hendak bercerita tentang mereka yang aku temui semasa telah menjadi seorang mahasiswa.  Aku ingin bercerita tentang mereka yang sangat berjasa sebelum aku menjadi seorang mahasiswa. Mereka adalah orang yang paling bertanggungjawab karena telah “menjerumuskan” dan “mendorong-dorong” aku untuk masuk ke dunia akademis di kampus hijau Universitas Lampung yang kemudian begitu disyukuri.

Sosok pertama  yang bertanggungjawab atas semua itu bernama Ellina Betin. Aku biasa memanggilnya dengan pangilan Mba Ellin. Ia adalah tetanggaku yang saat aku lulus STM tahun 2006, merupakan mahasiswa Unila jurusan Ilmu Pemerintahan angkatan 2000 (tua sih untuk ukuran mahasiswa FISIP..hehe). Dialah yang awalnya menjelaskan panjang lebar tentang bagaimana kehidupan kampus dengan segala dinamikanya.

Ketika pertama kali dijelaskan, sebetulnya aku masih ragu untuk memutuskan langkah yang akan ku ambil setelah selesai sekolah. Ada dua opsi yang harus aku pilih, apakah mengikuti saran Mba Ellin untuk terus melanjutkan sekolah ke jenjang Perguruan Tinggi, atau harus mengikuti keinginan orang tua agar langsung bekerja saja di Jakarta.

Orang tuaku pada dasarnya memang melarang aku untuk melanjutkan kuliah. Alasannya adalah karena memang orang tuaku tidak mampu membiayai kuliahku. Hal ini tidaklah mengherankan karena aku mengerti kondisi ekonomi keluarga saat itu sangatlah sulit. Jangankan untuk kuliah, untuk kebutuhan sehari-hari saja orang tuaku harus membanting tulang dari pagi hingga malam.

Ayahku adalah seorang pedagang musiman. Biasa berdagang buah-buahan seperti durian, mangga, cempedak, rambutan, dan lain-lain di pinggir jalan dekat rumahku. Ayahku membangun sebuah gubuk kecil yang berjejer dengan gubuk-gubuk lainnya dipinggir jalan raya Metro. Setiap hari ayahku pergi mencari buah-buahan keberbagai daerah di Lampung seusai shalat shubuh. Siangnya, ketika ayahku pulang membawa buah-buahan untuk dijual, ibuku sudah siap di gubuk tempat berjualan untuk menjualkan buah-buahan itu kepada orang-orang yang berkendara lalu-lalang di jalanan. Biasanya ketika berangkat ke gubuk, ibu sudah menyelesaikan semua pekerjaan rumah seperti memasak, mencuci pakaian, dan lain sebagainya.

Dengan situasi seperti itulah maka orang tuaku menyuruhku bekerja agar dapat meringankan beban ekonomi keluarga. Syukur-syukur bisa membantu menyekolahkan adik ku yang saat itu baru kelas 3 SD. Namun, cerita dan motivasi dari Mba Ellin ternyata jauh lebih kuat mempengaruhi pikiranku. Akupun mencoba memberikan pemahaman kepada orang tuaku secara perlahan-lahan agar mereka tak kecewa.

Aku menceritakan betapa besarnya keinginanku untuk kuliah. Berapa tingginya cita-citaku untuk merubah nasib keluarga dan membanggakan mereka. Karena memang di keluarga besarku belum pernah ada yang kuliah. Lama-kelamaan, dengan berat hati, akhirnya aku diizinkan untuk mendaftar kuliah dengan catatan. Catatannya adalah “kamu boleh kuliah, tapi dengan biaya sendiri,” kata ibuku. Dengan keyakinan yang mantap akupun menyanggupinya, karena saat itu aku yakin, bahwa aku pasti bisa!

Setelah medapatkan izin tersebut aku langsung menemui Mba Ellin dan memintanya menjelaskan apa saja yang perlu dipersiapkan untuk mendaftar dan menghadapi tes SPMB di Unila. Mba Ellin pun dengan semangat menjelaskan apa saja yang perlu dipersiapkan, mulai dari membeli formulir, melengkapi berkas-berkas, membeli buku soal-soal SPMB, dan juga jurusan apa saja yang bisa dipilih.

Awalnya, aku berniat mengambil jurusan Teknik Elektro Unila. Karena memang aku adalah lulusan STM Gajah Tunggal Metro jurusan Teknik Elektro dengan konsentrasi Teknik Audio-Video. Namun, ketika aku hendak membeli formulir pendafataran, ternyata formulir IPA dan IPC yang menaungi pendaftaran jurusan tersebut telah habis. Aku heran, tapi tidak tau harus bagaimana, karena memang aku membeli formulir pendaftaran tersebut di hari terakhir penutupan pendaftaran SPMB. Akhirnya, dengan berat hati dan penuh keterpaksaan akupun membeli formulir yang terisisa, yakni formulir IPS dengan uang hasil aku “bekerja” sebagai pengajar privat mengaji.

Dengan formulir IPS yang ada di tanganku, aku pun menjadi bingung untuk menentukan jurusan apa yang harus kupilih. Aku berkonsultasi lagi dengan Mba Ellin. Ia kemudian memberikan buku panduan jurusan-jurusan yang ada di FISIP Unila. Semalaman aku membolak balik buku itu, sampai akhirnya aku mantap memutuskan, aku akan memilih jurusan Ilmu Komunikasi FISIP sebagai pilihan pertama, dan Bahasa Inggris FKIP sebagai pilihan kedua.

Setelah aku mengembalikan formulir SPMB yang berkasnya sudah lengkap, pola hidupku mulai sedikit berubah. Perubahan yang paling terasa adalah hampir setiap hari selalu berada di dalam kamar untuk belajar. Semakin rajin puasa senen-kamis dan juga shalat malam. Semakin khusyuk dalam berdoa yang kadang sampai tak terasa tiba-tiba ada air yang menetes membasahi pipi. Hal yang bener-bener jarang (pake banget.red) dilakukan seumur hidup.

Satu hari sebelum tes tiba, aku diantar Mba Ellin beserta Bang Nando (“temen deketnya” Mba Ellin.red) keliling kampus Unila untuk mencari ruangan tes yang sesuai dengan nomor pendaftaranku. Aku mendapatinya di lantai 3 gedung Fisika FMIPA Unila. Namun, saat itu kondisi kesehatanku sedang buruk karena terkena demam yang hebat. Sesuatu yang membuat aku sulit berkonsentrasi.

5 Juli 2006, hari tes pun tiba, kesehatanku semakin buruk, namun aku tetap berusaha semaksimal mungkin mengerjakan soal yang menurutku sangat sulit. Apalagi soal-soal yang tidak aku pelajari ketika sekolah di STM dulu, seperti biologi, geografi, dan ekonomi, membuat kepalaku semakin sakit saja. Tes pun selesai, ketika itu aku pasrah menerima apapun hasilnya, pengumuman kelulusan akan diumumkan satu bulan setelah tes.

Hari masih gelap, pagi buta setelah shalat shubuh 5 Agustus 2006, aku bergegas ke pasar untuk membeli koran yang memuat penguman hasil SPMB tersebut. Setelah membeli, aku tak langsung melihat pengumuman, karena aku ingin melihatnya bersama-sama kedua orang tuaku di rumah. Aku membuka lembaran-lembaran koran yang memuat begitu banyak nama. Sudah sekian lama aku mencari satu nama diantara ribuan nama yang terpampang. Hampir putus asa karena tak menemukan nama yang aku cari. Di lembaran-lembaran terakhir, akhirnya kutemukanlah nama  yang indah itu (dilarang protes.red). Nama itu terdaftar sebagai mahasiswa Ilmu Komunikasi FISIP Unila.

Aku melompat kegirangan, tak mampu menahan ekspresi kebahagiaan yang aku rasakan saat itu, namun tidak dengan kedua orangtuaku. Ada perasan bangga, namun kesedihan lebih jelas nampak sekali di raut wajah sosok-sosok mulia itu. Aku coba meyakinkan aku bisa mendapatkan uang untuk daftar ulang, meski harus dengan meminjam sementara dari saudara ataupun tetehku yang bekerja di Bala Raja, Tangerang, Banten.

Meski daftar ulang membutuhkan dana yang relatif kecil bagi sebagian orang, sekitar Rp. 900.000,- namun bagi kedua orang tuaku jumlah itu cukup besar. Aku tidak ingin merepotkan mereka, meski aku meyakinkan pada mereka bahwa aku mampu, tapi saat itu sebenarnya adalah karena aku tak ingin menambah beban pikiran mereka.

Banyak hikmah dan pelajaran yang aku ambil selama proses itu. Aku belajar tentang makna kesyukuran. Aku memeluk erat makna kesabaran. Aku menggenggam kuat makna perjuangan, dan aku meresapi dengan dalam makna keikhlasan. Semua itu hadir karena secercah cahaya. Secercah cahaya yang menjadi penerang jalan ketika aku ingin memulai sebuah kisah. Kisah anak desa yang hanya memiliki semangat......mimpi......dan kesungguhan berusaha untuk mewujudkan visi besarnya. Terimakasih banyak Mba Ellin.

BERSAMBUNG…..

Jumat, 12 Oktober 2012

Mbah Marijan di Mata Antonio Gramsci

Tentu semua orang mengenal sosok Mbah Marijan, seorang  pemberani yang berasal dari gunung merapi. Ia menjadi juru kunci gunung merapi (kuncen merapi) selama berpuluh-puluh tahun dan menetap di bawah lereng gunung tersebut. Sejak dilantik sebagai kuncen merapi oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX, mbah Marijan begitu setia “menjaga” gunung merapi sehingga ia pun sangat dihormati oleh seluruh penduduk setempat.

Mbah Marijan sangat dipercaya oleh penduduk sekitarnya. Pengaruhnya terhadap penduduk lereng Merapi sangat kuat. Jauh lebih kuat dari pada pengaruh negara maupun kesultanan Yogyakarta yang dipimpin oleh Sri Sultan Hamengku Buwono X. Bahkan suatu ketika, saat pemerintah Indonesia menetapkan status gunung merapi menjadi “awas” di akhir Oktober 2010, yang hal itu mengharuskan seluruh penduduk lereng gunung merapi diperintahkan untuk mengungsi ke tempat lain, mereka justru dengan tegas menolak untuk mengungsi lantaran mbah Marijan “bersabda” bahwa merapi tidak akan meletus saat itu.

Pemerintah yang tidak mau mengambil resiko akan keselamatan penduduk setempat bahkan harus meminta bantuan khusus dari Sri Sultan Hamengku Buwono X untuk “membujuk” mbah Marijan agar mau mencabut sabdanya dan bersedia mengajak penduduk setempat untuk mengungsi. Sultan mengeluarkan “sabda” tandingan agar penduduk mau segera mengungsi ke tempat yang aman. Namun “sabda” Sultan pun kalah kuat dengan “sabda” mbah Marijan. Sultan pun coba menggunakan berbagai pendekatan kepada mbah Marijan agar dapat memberikan pemahan bahwa Merapi akan segera meletus dan seluruh penduduk lereng gunung harus mengungsi.

Namun apa yang terjadi? Dengan tegas mbah Marijan menolak permintaan Sultan HB X untuk meninggalkan tempat di mana ia mengabdi sebagai kuncen Merapi. Mbah marijan bahkan berujar, ia akan turun bila Sultan HB IX yang memerintahkannya. Ia menegaskan bahwa ia hanya menuruti perintah Sultan HB IX, karena beliaulah yang mengangkatnya dulu sebagai kuncen merapi, bukan Sultan HB X. Sebuah sikap penentangan terhadap seorang raja yang amat terpandang di tanah Jawa.

Lalu apa urusannya sosok Mbah Marijan yang fenomenal dengan Antonio Gramsci seorang tokoh Marxis dari Italia ini? Inilah yang akan coba dielaborasikan segera.

Antonio Gramsci dikenal sebagai pemikir besar yang bahkan dianggap sebagai pemikir terbesar kedua setelah Karl Marx. Gramsci dikenal melalui terjemahan dari kumpulan catatan dari penjara yang dibukukan dengan judul Cucreni del Carcere atau Selection from the Prison Notebooks yang merupakan buku harian yang ditulis di penjara antara tahun 1929 dan tahun 1935.

Melalui karyanya tersebut ia mengenalkan antara lain konsep hegemony dimana ia menunjukkan hubungan antara kepemimpinan (direction) dan dominasi (dominance). Sebuah konsep yang kini begitu digandrungi oleh banyak kalangan untuk mempelajarinya, khususnya kalangan aktivis mahasiswa yang revolusioner.

Dalam konsep hegemony ini, Gramsci menyoroti akan pentingnya peranan intelektual  dalam masyarakat sipil dalam masa transisi menuju sosialisme pada saat itu. Gramsci mengungkapkan, intelektual bukan dicirikan oleh aktifitas berfikir intrinsik yang dimiliki oleh semua orang, namun oleh fungsi yang mereka jalankan. Ia melanjutkan, “kita bisa mengatakan bahwa semua orang adalah intelektual, namun tidak semua orang mempunyai fungsi intelektual.”

Kemudian, Gramsci pun memperluas definisi kaum intelektual tersebut, yaitu, semua orang yang mempunyai fungsi sebagai organisator dalam semua lapisan masyarakat, dalam wilayah produksi sebagaimana dalam wilayah politik dan kebudayaan. Ia membuat perbedaan antara “intelektual organik” dan “intelektual tradisional”.

Menurutnya, intelektual tradisional merupakan kategori yang bisa dikenakan kepada figur intelektual menara gading yang melakukan kongsi dan aliansi dengan kaum penguasa. Karena itu, intelektual kelompok ini cenderung konservatif terhadap perubahan sosial.

Sebaliknya, kata Gramsci, intelektual organik merupakan kategori yang bisa dipakai untuk mendeskripsikan figur atau kelompok intelektual yang mendedikasikan dirinya untuk perjuangan menuju kebaikan kelompok sosial masyarakatnya. Kaum intelektual yang demikian ini sejatinya muncul secara alamiah dari dalam diri dan seiring dengan pergerakan masyarakat, bukan dipaksakan untuk merepresentasikan kepentingan masyarakatnya.

Ia berpendapat bahwa setiap kelas menciptakan satu atau lebih strata intelektual yang memberinya kesamaan dan kesadaran akan fungsi mereka sendiri bukan hanya dalam bidang ekonomi namun juga dalam bidang sosial politik. Intelektual tidak membentuk sebuah kelas namun setiap kelas mempunyai intelektualnya sendiri.

Berdasarkan pandangan Gramsci tentang intelektual di atas, lalu dimanakah posisi mbah Marijan di mata Gramsi? Pertanyaan ini sebetulnya sulit untuk di jawab, karena bagaimanapun juga, mbah Marijan berasal dari kaum proletar yang diangkat oleh Sultan HB IX sebagai kaum borjuis untuk menjadi abdi kesultanan Yogyakarta sebagai kuncen merapi.

Oleh karenanya dapat dikatakan bahwa, dalam konteks ini, mbah Marijan dalam pandangan Gramsci adalah seorang intelektual tradisional yang berperan sebagai intelektual organik dari aristokrasi feodal. Mengapa demikian? Karena sebagai seorang abdi kesultanan, mbah Marijan adalah perangkat legalisasi kekuasaan dari aristokrasi feodal. Posisi mbah Marijan ditengah-tengah masyarakat otomatis adalah untuk memperkuat status quo pemerintahan kesultanan Yogyakarta yang saat itu di pimpin oleh Sultan HB IX.

Namun, ketika kesultanan Yogyakarta di perintah oleh Sultan HB X, mbah Marijan bertindak sebagaimana intelektual organik menjalankan fungsi intelektualnya dimasyarakat. Menjadi organiser bagi masyarakatnya untuk menjaga tradisi budaya yang mereka percayai selama bertahun-tahun. Sikap penentangannya terhadap instruksi untuk mengungsi dari pemerintah Indonesia maupun Sultan HB X merupakan bentuk perlawanan terhadap serangkaian tekanan atas tradisi masyarakat merapi yang percaya sepenuhnya terhadap budaya turun-temurun itu.

Artinya bahwa, pasca kepemimpinan kesultanan Yogyakarta beralih dari Sultan HB IX kepada Sultan HB X, di mata Antonio Gramsci, mbah Marijan telah menyebrangi jembatan kesadaran sebagai seorang intelektual tradisional pada masa Sultan HB IX, menjadi seorang intelektual organik pada masa Sultan HB X. Sampai akhir hayatnya, dengan menjaga prinsip kesetiannya atas amanah yang diberikan oleh Sultan HB IX kepadanya, mbah Marijan dikenal sebagai sosok intelektual organik dari klas proletar yang mampu mengorganisir penduduk dalam bingkai perasaan dan pemahaman yang menjadi pengetahuan bersama atas tradisi kebudayaan leluhur.

Rabu, 10 Oktober 2012

Mau jadi ahli apa kau dengan tesismu itu?

Dua minggu belakangan ini adalah hari-hari yang cukup membuat pikiran menjadi terhentak-hentak. Muncul banyak bayangan di kepala tentang sebuah keadaan di masa depan. Yang kalo dipikir-pikir tidak seharusnya kondisi ini hadir ketika aku sedang meneruskan perjuangan membangun imperium kejayaan visiku di sini, di kampus UGM tempat di mana aku kuliah S2.

Hal ini terkait dengan sebuah ungkapan seorang dosen di kelasku. Kami memanggilnya Bang Abrar, Doktor komunikasi lulusan Kanada. Beliau mengatakan, “bila anda nanti mengerjakan tesis, pastikan tesis itu dapat membangun keterampilan atau keahlian yang bermanfaat bagi diri anda setelah lulus nanti.” Seketika itu juga, judul tesis yang tadinya sudah dipersiapkan, tiba-tiba seolah jatuh terbanting ke lantai lalu hancur berantakan.  Karena ternyata, hampir semua mahasiswa di kelasku memiliki judul tesis yang tidak dapat membangun keterampilan yang bermanfaat banyak lebih-lebih keterampilan itu memiliki nilai jual.

Ketika aku masuk kuliah di S2 komunikasi UGM, dengan konsentrasi Kebijakan Komunikasi, sebetulnya harapanku adalah dapat menjadi seorang pakar komunikasi politik dan strategi komunikasi publik, karena memang di  Lampung, tempat di mana aku tinggal menurutku belum ada orang yang benar-benar menguasai itu baik secara teori maupun prakteknya. Tapi kenyataannya, konsentrasi yang aku ambil di komunikasi UGM tidak dapat mengcover  itu semua.

Di komunikasi UGM sebetulnya ada tiga konsentrasi yang ditawarkan kepada mahasiswa S2, pertama Menejemen Komunikasi (MK), lebih cenderung diarahkan menjadi seorang Public Relations. Kedua, Ilmu Komunikasi dan Media (IKM), lebih diarahkan untuk menjadi seorang dosen, dan ketiga Kebijakan Komunikasi (KK), yang diarahkan untuk menjadi seorang konsultan kebijakan yang terkait dengan komunikasi.

Di kelas KK inilah aku menimba ilmu pengetahuan tentang kebijakan-kebijakan komunikasi. Ketika awal aku memilih konsentrasi ini, mata kuliah yang ditawarkan sangat erat kaitannya dengan komunikasi politik. Namun ternyata semua itu kurang tepat. Karena mahasiswa KK, bukan diarahkan untuk menjadi seorang pakar komunikasi politik, karena itu ada di konsentrasi IKM. Akhirnya, ketika aku yang sebentar lagi akan melakukan penelitian tesis, pilihan untuk menentukan judul tesis harus diubah arahnya, karena harus berkaitan dengan Kebijakan Komunikasi. Oleh karenanya, akupun lantas harus mencari judul yang tepat dan dapat membangun keterampilan atau keahlian yang bermanfaat dan “menjual” nantinya.

Pasca bang Abrar mengungkapkan hal itu, kami diberi waktu berfikir selama seminggu untuk menentukan objek penelitian yang dapat membangun keterampilan atau keahlian yang bermanfaat dan menjual tadi. Waktu terus berjalan, aku mulai bergeriliya di internet maupun buku-buku yang kupunya untuk mencari inspirasi terkait keterampilan yang nantinya aku miliki. Akhirnya dalam sebuah renungan malam, aku menemukan keahlian apa itu. Aku memutuskan untuk membangun keterampilan dibidang pembuatan undang-undang yang berkaitan dengan komunikasi. Tentang keahlian lainnya, seperti komunikasi politik maupun strategi komunikasi publik, aku rasa nanti aku akan bisa belajar secara otodidak, learning by doing.

Aku mulai menentukan objek penelitianku. Sampai aku menulis catatan ini, sebetulnya aku belum benar-benar yakin akan meneliti undang-undang atau aturan apa. Namun, sepertinya aku tertarik untuk meneliti tentang undang-undang Keterbukaan Informasi Publik, bukan pada tataran isinya, tapi mungkin akan lebih pada implementasinya, karena menurut pengamatanku masih belum berjalan dengan ideal. Aku ingin coba meneliti hal ini di tempat asalku, Lampung. Mungkin Bandar Lampung menjadi kota yang cocok untuk diteliti. Namun bisa juga provinsi Lampung yang menjadi objek, karena aku punya pengalaman terkait keterbukaan informasi publik di level provinsi.

Dulu aku pernah terlibat dalam pengawalan CPNSD Lampung 2010. Disaat itulah banyak sekali informasi publik yang disembunyikan dari lembaga-lembaga pemerintahan di Lampung.  Tidak transparan dan akuntabel menjadi pemandangan “wajar” disetiap ada penyelenggaraan CPNSD di Lampung, atau mungkin juga di seluruh Indonesia? Alasan lainnya adalah, dalam hatiku, aku ingin memiliki kontribusi untuk tanah kelahiranku. Aku punya harapan besar terhadap Lampung, dan berharap suatu saat provinsi ini dapat benar-benar bersaing di kancah nasional maupun global disegala bidang. Aku yakin, Lampung insyaallah bisa!!!

Begitulah kira-kira kondisi yang aku hadapi saat ini terkait tesis. Pernyataan bang Abrar telah membuatku tersentak. Karena awalnya aku ingin menyelesaikan tesis dengan usaha “sekedarnya saja”. Hal ini terkait dengan waktu dan juga dana. Waktu, karena aku ingin lulus S2 ini dalam waktu cepat, 1,5 tahun. Dana, karena dalam penelitian tesis tentunya membutuhkan dana yang lumayan. Apalagi bila penelitiannya memiliki tingkat kesulitan yang tinggi, pastinya akan memakan waktu lama yang berakibat pada bertambahnya biaya yang akan aku keluarkan di Yogyakarta.

Ah pilihan yang dilematis, namun akan tetap kuupayakan semaksimal mungkin agar dapat lulus 1,5 tahun dengan IPK cumlaude. Untuk semester pertama kemarin, aku memperoleh IP cumlaude. Masih di atas standar minimal cumlaude di S2 UGM yang dipatok 3.75. Tentunya juga, aku berusaha maksimal agar mendapatkan keahlian sebagai seorang ahli dibidang pembuatan peraturan tentang komunikasi, dan juga menguasai bidang komunikasi politik maupun pembuat strategi komunikasi publik yang handal. Aku yakin selama ada kemauan, insyaallah pasti ada jalan, manjadda wajada, manshabara zhafira.

Lebih cepat lebih baik, inilah yang menjadi kata-kata penyemangatku beberapa hari terakhir. Aku yakin tidak ada yang mudah dalam berjuang, tapi aku sangat percaya tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini. Apalagi di tempat nan jauh di sana, banyak yang menantikan aku segera lulus, khususnya mereka yang berada di rumah. Senyum dan doa tulus mereka adalah sumber energi bagiku yang tiada batas, dan juga termasuk bidadari tercantik kedua di dunia ini yang mungkin tengah bersabar menanti kehadiranku saat ini… #eh, ehm ehm..kalem.

Surat Cinta Untuk Kita...

Kepada calon istriku ...
Kepada calon istriku ...
Wherever u're

Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Apa kabar calon istriku? Hope u well and do take care .... Allah selalu bersama kita.

Calon istriku ...

Masihkah menungguku? Hm ....menunggu, menanti atau whateverlah yang sejenis itu kata orang membosankan. Benarkah? Menunggu ... hanya sedikit orang yang menganggapnya sebagai hal yang istimewa. Dan bagiku, menunggu adalah hal istimewa. Karena banyak manfaat yang bisa dikerjakan yang diperoleh dari menunggu. Membaca, menulis, diskusi ringan, atau hal lain yang bermanfaat.

Menunggu bisa juga dimanfaatkan untuk mengagungkan-Nya, melihat fenomena kehidupan di sekitar tempat menunggu, atau sekadar merenungi kembali hal yang telah terlewati. Eits, bukan berarti melamun sampai angong alias ngayal dengan pikiran kosong. Karena itu justru berbahaya, bisa mengundang makhluk dari dunia lain masuk ke jiwa.

Banyak hal lain yang bisa kau lakukan saat menunggu. Percayalah bahwa tak selamanya sendiri itu perih. Ngejomblo itu nikmat, jenderal!

Bahwa di masa penantian, kita sebenarnya bisa lebih produktif. Mumpung waktu kita masih banyak luang. Belum tersita dengan kehidupan rumah tangga. Jadi waktu kita untuk mencerahkan ummat lebih banyak. Karena permasalahan ummat saat ini pun makin banyak.

Karenanya wahai bidadari dunia ....

Maklumlah bila sampai saat ini aku belum datang. Bukan ku tak ingin, bukan ku tak mau, bukan ku menunda. Tapi persoalan yang mendera bangsa ini kian banyak dan kian rumit. Begitu banyak anak tak berdosa yang harus menderita karena busung lapar, lumpuh layuh hingga muntaber. Belum lagi satu per satu kasus korupsi tingkat yang membuktikan bahwa negeri ini ‘sarang tikus’.

Ditambah lagi bencana demi bencana yang melanda negeri ini. Meski saat ini hidup untuk diri sendiri pun rasanya masih sulit. Namun seperti seorang ustadz pernah mengatakan bahwa hidup untuk orang lain adalah sebuah kemuliaan. Memberi di saat kita sedang sangat kesusahan adalah pemberian terbaik. Bahwa kita belumlah hidup jika kita hanya hidup untuk diri sendiri.

Calon istriku ....
Di mana engkau sekarang, janganlah gundah, janganlah gelisah. Telah kubaca tulisanmu dan aku mengerti. Betapa merindunya dirimu akan hadirnya diriku di dalam hari-harimu.

Percayalah padaku aku pun rindu padamu. Aku akan datang, tapi mungkin tidak sekarang. Karena jalan ini masih panjang. Banyak hal yang menghadang. Hatiku melagu dalam nada angan. Seolah sedetik tiada tersisakan. Resah hati tak mampu kuhindarkan. Tentang sekelebat bayang, tentang sepenggal masa depan. Karang asaku tiada ‘kan terkikis dari panjang jalan perjuangan hanya karena sebuah kegelisahan. Lebih baik mempersiapkan diri sebelum mengambil keputusan. Keputusan besar untuk datang kepadamu.

Calon istriku ...
Jangan menangis, jangan bersedih, hapus keraguan di dalam hatimu. Percayalah padaNYA, Yang Maha Pemberi Cinta, bahwa ini hanya iklan hidup yang pasti berakhir. Yakinlah saat itu pasti ‘kan tiba.

Tak usah kau risau karena makin memudarnya kecantikanmu. Karena kecantikan hati ini dan iman yang dicari. Tak usah kau resah karena makin hilangnya aura keindahan luarmu. Karena aura keimanlah yang utama. Itulah auramu yang memancarkan cahaya syurga. Merasuk dan menembus relung jiwa.
Wahai perhiasan terindah ....

Hidupmu jangan kau pertaruhkan. Hanya karena kau telah menunggu. Apalagi hanya demi sebuah pernikahan. Karena pernikahan tak dibangun dalam sesaat, tapi ia bisa hancur dalam sedetik. Seperti kota Iraq yang dibangun berpuluh tahun, tapi bisa hancur dalam waktu sekian hari.

Jangan pernah merasa, hidup ini tak adil. Kita tak akan pernah bisa mendapatkan semua yang kita inginkan dalam hidup. Pasrahkan inginmu sedalam kalbu pada tahajjud malammu. Bariskan harapmu sepenuh rindumu pada istrikharah di shalat malammu. Pulanglah padaNYA, ke dalam pelukanNYa. Jika memang kau tak sempat bertemu diriku, sungguh itu karena dirimu begitu mulia, begitu suci. Dan kau terpilih menjadi ainul mardhiyah di jannahNYA.

Calon istriku ...
Skenario Allah adalah skenario terbaik. Dan itu pula yang telah Ia skenariokan untuk kita. Karena Ia sedang mempersiapkan kita untuk lebih matang merenda hari esok seperti yang kita harapkan nantinya. Untuk membangun kembali peradaban ideal seperti cita kita.

Calon istriku ....
Ku tahu kau merinduku, bersabarlah saat indah ‘kan menjelang tua. Saat kita akan disatukan dalam ikatan indah pernikahan. Apa kabarkah kau disana? Lelahkah kau menungguku berkelana, lelahkah menungguku kau disana? Bisa bertahankah kau disana, tetap bertahanlah kau disana. Aku akan segera datang, sambutlah senyum manismu. Bila waktu itu telah tiba, kenakanlah mahkota itu, kenakanlah gaun indah itu. Masih banyak yang harus kucari, tuk bahagiakan hidup kita nanti ....


Calon istriku ....
Malam ini terasa panjang dengan air mata yang mengalir. Hatiku terasa kelu dengan derita yang mendera, kutahan derita malam ini sambil menghitung bintang. Cinta membuat hati terasa terpotong-potong. Jika di sana ada bintang yang menghilang, mataku berpendar mencari bintang yang datang. Bila memang kau pilihkan aku tunggu sampai aku datang.

Ku awali diriku dengan tasbih, tahmid dan shalawat. Dan mendoakanmu agar ku selalu sehat, bahagia, dan mendapat yang terbaik dari-Nya. Aku tak pernah berharap kau kan merindukan keberadaanku yang menyedihkan ini. Hanya dengan rasa rinduku padamu, kupertahankan hidup. Maka hanya dengan mengikuti jejak-jejak hatimu, ada arti kutelusuri hidup ini. Mungkin kau tak pernah sadar betapa mudahnya kau tuk dikagumi. Akulah orang yang kan selalu mengagumi, mengawasimu, menjagamu dan mencintaimu.

Calon istriku ....
Saat ini ku hanya bisa mengagumimu, hanya bisa merindukanmu. Dan tetaplah berharap, terus berharap. Berharap aku kan segera datang. Jangan pernah berhenti berharap. Karena harapan-harapanlah yang membuat kita tetap hidup.
Bila kau jadi istriku kelak, jangan pernah berhenti memilikiku dan mencintaiku hingga ujung waktu. Tunjukkan padaku kau kan selalu mencintaiku. Hanya engkau yang aku harap. Telah lama kuharap hadirmu disini. Meski sulit harus kudapatkan. Jika tidak kudapat di dunia kan kukejar sang ainul mardhiyah yang menanti di syurga.

Ku akui cintaku tak hanya hinggap di suatu tempat, aku takut mungkin diriku terlalu liar bagimu. Namun sejujurnya, semua itu hanyalah persinggahan egoku, pelarian perasaanku dan sikapmu telah meluluhkan jiwaku. Waktu pun terus berlalu dan aku kian mengerti apa yang akan ku hadapi dan apa yang harus kucari dalam hidup.

Kurangkai sebuah tulisan sederhana ini untuk dirimu yang selalu bijaksana. Aku goreskan syair sederhana ini, untuk dirimu yang selalu mempesona. Memahamiku dan mencintaiku apa adanya. Semoga Allah kekalkan nikmat ini bagiku. Semoga ...
Kau terindah di antara bunga yang pernah aku miliki dulu
Kau teranggun di antara dewi yang pernah aku temui dahulu
Kau berikan tanda penuh arti yang tak bisa aku mengerti
Kau bentangkan jalan penuh duri yang tak bisa aku lewati
Begitu indah kau tercipta bagi Adam
Begitu anggun kau terlahir sebagai Hawa
Kau terindah yang pernah kukagumi meski tak bisa aku miliki
Kau teranggun yang pernah kutemui meski tak bisa aku miliki

Ya Allah .... ringankanlah, kerinduan yang mendera. Kupanjatkan sepotong doa setiap waktu, karena keinginan yang menyeruak di dalam diriku.
Ya Allah ... ampuni segala kesilafan hamba yang hina ini, ringankan langkah kami. Beri kami kekuatan dan kemampuan tuk melengkapkan setengah dien ini, mengikuti sunnah RasulMu jangan biarkan hati-hati kami terus berkelana tak penghujung yang hanya sia-sia dengan waktu dan kesempatan yang telah Engkau berikan.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb

Doa 'Ali Zainal 'Abidin ibn Husain

ya Allah, sampaikan salam dan shalawat kepada Muhammad SAW dan keluarganya

bimbinglah aku untuk
melawan orang yang mengkhianatiku dengan kesetiaan
membalas orang yang mengabaikanku dengan kebajikan
memberi orang yang bakhil kepadaku dengan pengorbanan
menyambut orang yang memusuhiku dengan pengorbanan
menentang orang yang menggunjingku dengan pujian
berterimakasih atas kebaikan dan menutup mata dari keburukan
ya Allah, sampaikan salam dan shalawat kepada Muhammad SAW dan keluarganya

hiasilah kepribadianku dengan hiasan para shalihin
berilah aku busana kaum muttaqin

dengan menyebarkan keadilan, menahan kemarahan, ,eredam kebencian,
mempersatukan yang terpecah, mendamaikan pertengkaran, menyiarkan kebaikan, menyembunyikan kejelekan, memelihara kelembutan, memiliki kerendahan hati, berperilaku yang baik, memegang teguh pendirian, menyenangkan dalam pergaulan, bersegera melakukan kebaikan, meninggalkan kecaman, memberi walau kepada yang tidak berhak,

berbicara yang benar walau berat,
menganggap sedikit kebaikan sendiri,
walau terasa banyak dalam ucapan dan perbuatan,
dan menganggap banyak keburukan pribadi,
walau terasa sedikit dalam kata-kata dan tingkah laku.

amiinn....

Senin, 08 Oktober 2012

Demokrasi Tergadai Korporatokrasi

Oleh: Feri Firdaus


MASIH segar dalam ingatan kita bagaimana tragedi kemanusian yang terjadi hampir secara bersamaan di Mesuji dan Bima akhir tahun 2011.
Tragedi yang begitu menarik perhatian masyarakat terjadi lantaran konflik antara korporasi yang mewakili pemilik modal dan masyarakat setempat yang merasakan ketidakadilan.
Bahkan, masyarakat cenderung ditindas dalam waktu yang lama. Sejatinya, pemerintah yang memiliki kekuasaan dari rakyat dapat melindungi dan memperjuangkan nasib rakyatnya yang terjajah korporasi.
Namun, yang terjadi di lapangan adalah pemerintah justru tunduk dan patuh terhadap kepentingan ekonomi korporasi. Mengapa hal ini bisa terjadi? Bukankah pemerintah memiliki lembaga hukum, kekuatan militer, dan kedaulatan kekuasaan dari rakyatnya?

Dana Kampanye
Meminjam istilah John Perkins (2004) korporatokrasi menggambarkan bagaimana korporasi-korporasi besar mampu mengendalikan dan mendikte, bahkan terkadang mampu membeli pemerintahan untuk melanggengkan kepentingan ekonomi mereka. Sepertinya praktek ini jelas sedang terjadi di negara ini.
Cara kerja korporatokrasi ini mirip mafia karena menggunakan berbagai taktik dan strategi untuk mencapai tujuannya, termasuk membunuh masyarakat yang tidak berdosa dan menghancurkan alam. David Korten (2007) menambahkan betapa mengerikannya korporatokrasi ketika korporasi-korporasi besar memperoleh kekuasaan otonom dan makin terasingkan dari masyarakat tempatnya. Kepentingan korporasi dan kepentingan kemanusiaan semakin jauh berbeda.
Cara paling mudah bagi korporasi untuk menaklukan kekuatan politik adalah dengan memberikan biaya politik ketika calon presiden, gubernur, atau bupati dan wali kota melakukan kampanye menjelang pemilihan umum.
Calon yang terpilih tidak bisa tidak pasti akan membalas budi pada korporasi yang telah menggelontorkan dana kampanye. Tujuannya jelas, agar pemerintah yang berkuasa dapat menjadi fasilitator kepentingan korporat. Fenomena ini jelas merupakan bentuk dari penggadaian demokrasi. Pemilihan umum yang sejatinya merupakan harapan untuk menghasilkan pemimpin yang mampu memperjuangkan aspirasi rakyat dan masa depan bangsa ternyata telah berubah menjadi demokrasi korporat.
Semua itu hanya untuk memuaskan keserakahan korporat dan pemerintahan yang korup. Maka, tidaklah heran dalam banyak kasus yang melibatkan rakyat kecil dengan pemilik modal, baik kepolisian maupun militer yang berada di bawah kekuasaaan pemerintah, lebih sering cenderung membela kepentingan pemilik modal.
Cara lain yang bahkan lebih efektif lagi bagi korporasi besar dalam menaklukkan sistem kekuasaan adalah dengan langsung menduduki posisi-posisi penting dalam seperti jabatan wakil presiden atau gubernur, menteri, pimpinan parpol, anggota DPR, dan lain-lain.
Di Amerika Serikat, Dick Cheney, wakil presiden di era George Bush Jr., sebelumnya memegang jabatan sebagai CEO Halliburton yang berbasis di Dallas, Texas. Sekalipun secara formal dia mengaku tidak lagi memiliki hubungan dengan Halliburton, bukti-bukti di lapangan menunjukkan keterkaitan itu semakin akrab. Buktinya, Halliburton memenangi kontrak bernilai miliaran dolar AS untuk melakukan rekonstruksi Irak.

Kanker Politik
Di Indonesia sendiri, dalam kasus wisma atlet yang melibatkan M. Nazaruddin, sebagai anggota DPR sekaligus sebagai bendahara umum Partai Demokrat, melakukan praktek yang yang hampir sama. Yakni,  menjadikan perusahaan-perusahaan miliknya sebagai alat untuk mendapatkan berbagai macam proyek pemerintah setelah ia menduduki posisi strategis dalam sistem kekuasaan.
Sekalipun PT Duta Graha Indah sebagai pemenang tender proyek pembangunan wisma atlet di Jakabaring bukanlah milik Nazaruddin, perusahaan ini memenangkan proyek tersebut atas bantuan perusahaan-perusahaan milik Nazaruddin.
Dalam situasi seperti ini, praktek demokrasi yang seharusnya bermakna dari, oleh, dan untuk rakyat kini telah berubah menjadi dari, oleh, dan untuk pemilik modal. Keluhuran nilai-nilai demokrasi yang selama ini diagung-agungkan telah tergadaikan oleh pemerintahan korup.
Korporatokrasi menjadi kanker politik yang terus menghancurkan moralitas dan nurani para pemimpin rakyat yang masih saja bermental jongos alias menjadi budak-budak kaum pemilik modal. Bila kondisi ini terus berlangsung, sepertinya kita harus berpikir ulang tentang keberadaan dan keutuhan Indonesia 100 tahun mendatang.

(Opini Lampung Post, Jum'at 30 Maret 2012)