Keputusan pemerintah mengeluarkan Permen Kominfo No.22/2011 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Televisi Digital Terestrial Penerimaan Tetap
Tidak Berbayar (Free To Air) belakangan membuat semakin gaduh
dunia penyiaran di Indonesia. Keinginan pemerintah untuk mendorong sistem
penyiaran analog menjadi sistem penyiaran digital sebetulnya bisa dipahami
secara rasional sebagai sebuah kebutuhan untuk memajukan industri penyiaran yang masih berbasis analog. Analog saat ini dinilai sudah
tidak lagi sejalan degan kemajuan zaman yang menuntut serba sempurna, ringkas,
dan cepat. Kesempurnaan televisi digital dinilai beberapa pengamat merupakan
keniscayaan untuk menjamin industri ini akan dimainkan oleh pasar yang makin
beragam. Prinsip diversity
of content dan diversity
of ownnership pun akan makin terasa dengan adanya televisi
digital ini.
Jika digitalisasi dilakukan di Indonesia saat ini, maka
setiap kanal yang ada dapat diisi oleh dua hingga sepuluh programa atau
stasiun. Saat ini untuk kota kecil di Indonesia disediakan 7 kanal analog,
sedang kota besar mencapai 14 kanal analog. Dengan digital, satu saluran analog
tersebut dapat menampung dua hingga sepuluh saluran televisi. Ini berarti dalam
satu kota kecil saja dimungkinkan akan ada tambahan kanal yang makin melonjak
menjadi sekitar 70 kanal.
Bila dibandingkan, Indonesia dan
negara-negara berkembang lain memang bisa dikatakan terlambat soal digitalisasi
televisi ini. Sebanyak 120
negara dari Eropa, Timur Tengah dan lainnya telah menyatakan sepakat untuk beranjak dari sistem
analog ke digital melalui kesepakatan Geneva
Agreement tahun 2006 (GE06). Salah satu poin
kesepakatan ini adalah ditentukannya batas waktu migrasi dari sistem analog ke
sistem digital, yaitu Juni 2006 - Juni 2015. Sementara itu, sistem hukum di
negara kita tidak memungkinkan GE06 serta merta berlaku sebagai hukum positif.
Sehingga perjanjian tersebut tidak dapat dijadikan dasar hukum untuk
menghasilkan regulasi baru. Indonesia hanya dapat terikat bila menyatakan
melakukan “aksesi (accession)” atau menyatakan mengikatkan diri
pada perjanjian tersebut. Untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian
internasional wajib memperoleh pertimbangan dan persetujuan DPR (Pasal 11 UUD
1945).
Lalu bagi
Indonesia, masalah apa yang kira-kira akan muncul atas proses migrasi analog ke
digital ini? Migrasi ini dikhawatirkan akan berdampak serius terhadap lembaga
penyiaran khususnya penyiaran lokal, komunitas, dan juga masyarakat kelas
menengah ke bawah. Dampak serius tersebut diprediksikan berupa kerugian bagi
lembaga penyiaran lokal yang terlanjur telah menginvestasikan banyak biaya untuk
menunjang penyiaran analog seperti untuk pembangunan tower misalnya. Dengan
diberlakukannya digitaliasai, otomatis tower-tower tersebut tidak terpakai
lagi, karena semua materi siaran akan dipancarkan oleh Lembaga Penyiaran
Penyelenggara Penyiaran Multipleksing (LP3M), dan hal itu membutuhkan biaya
lagi yang tidak sedikit. Bagi lembaga penyiaran komunitas, untuk ikut
bermigrasi ke penyiaran digital, dapat dipastikan mereka tidak akan sanggup
untuk melakukannya, karena pasti terkendala dengan masalah dana maupun
infrastrukturnya.
Bagi
masyarakat sendiri, mereka tentu harus mengeluarkan biaya tambahan untuk
melengkapi televisi yang selama ini digunakan dengan alat bernama Set
Top Box agar dapat menikmati siaran televisi digital. Persoalannya
adalah harga Set Top Box itu tidaklah murah. Memang muncul ide simulcast yakni
bersiaran analog dan digital secara bersama sebagai transisi menuju
digitalisasi secara menyeluruh dimana pemerintah menargetkan akan selesai tahun
2018. Namun, hal ini diperkirakan akan membuat industri stasiun televisi
harus mengeluarkan banyak biaya untuk siaran.
Disinilah maka pemerintah dirasa belum siap menata proses migrasi dan
terkesan terburu-buru dalam menanganinya. Termasuk dalam menetapkan regulasi
mengenai hal ini yang “hanya” dengan Peraturan Menteri dan tidak menunggu
proses revisi Undang-Undang Penyiaran selesai dibahas. Apalagi hal ini memiliki implikasi yang sangat luas terhadap kehidupan
masyarakat, tidak sekadar proses (teknis) migrasi teknologi saja. Bila
dilihat dari kacamata yang lebih tajam, patut dicurigai adanya motif politk dan
ekonomi yang cukup besar dibalik proses ini. Hal ini dapat dilihat dari:
Pertama,
digitalisasi penyiaran televisi ini membutuhkan perangkat multiplexing untuk
memancarkan program siaran dari stasiun, dan juga set top box disetiap
televisi untuk menerima siaran digital. Dengan kebutuhan peralatan yang begitu
besar khususnya set top box yang nantinya wajib ada pada
setiap televisi, bila dimanfaatkan dengan baik, maka ini dapat menjadi peluang
ekonomi yang sangat besar khususnya bagi industri dalam negeri. Bayangkan,
berapa banyak jumlah kebutuhan alat itu? Tentunya berada dikisaran ratusan juta
unit. Namun, dengan potensi sebesar itu, yang menjadi pertanyaan adalah
perusahaan milik siapa yang akan memproduksinya? Siapa yang akan diuntungkan?
kekhawatirannya adalah, begitu rawannya permainan tender proyek pengadaan alat
tersebut oleh mafia-mafia politik dalam mendulang modal untuk kampanye 2014.
Kedua,
digitalisasi penyiaran televisi ini akan membuka kembali peluang bagi orang
yang ingin memiliki televisi yang bersiaran secara nasional. Sebagaimana
diketahui, saat ini dengan sistem penyiaran analog, frekuensi untuk bersiaran
secara nasional sudah penuh dengan 11 stasiun televisi yang sudah ada sekarang.
Dari 11 stasiun televisi tersebut, mayoritas dimiliki oleh tokoh-tokoh dari
berbagai partai politik. Grup yang menguasai industri pertelevisian di
Indonesia tersebut yakni grup bakrie dengan stasiun televisi TV One, ANTV, dan
Jak Tv yang notabene adalah milik Ketua Umum Partai Golkar. Ada lagi grup lain
yang memiliki SCTV, Indosiar, dan O Channel. Sedangkan, MNC memiliki Global TV,
RCTI, dan MNC TV dimiliki oleh Dewan Pembina Parta Nasdem, sekaligus Metro tv
milik Ketua Dewan Pembina partai tersebut. Terakhir yakni grup Trans yang
menaungi Trans TV dan Trans 7.
Hal ini
erat kaitannya dengan kecemburuan parpol lainnya yang juga ingin memiliki
stasiun televisi karena memang sangat menjanjikan secara ekonomi maupun sebagai
sarana untuk membentuk opini publik yang sangat efektif. Apalagi saat ini,
televisi masih menjadi media yang paling banyak digunakan oleh masyarakat untuk
mendapatkan informasi. Dengan diberlakukannya digitalisasi penyiaran ini, besar
kemungkinan nantinya parpol-parpol lainnya juga akan mendirikan stasiun televisi
untuk menyemarakkan pertarungan politik di media. Bayangkan, bagaimana isi
siaran televisi-televisi nantinya bila pemiliknya seluruhnya berasal dari
partai politik? Publik pasti yang akan menjadi korban.
Jadi,
dalam proses migrasi penyiaran analog ke digital ini, pemerintah haruslah mampu
mengantisipasi segala kemungkinan terkait dampak yang akan ditimbulkan nantinya
ke depan. Bagaimanapun juga frekuensi yang digunakan untuk bersiaran tersebut
adalah milik publik. Maka pemerintah wajib mendahulukan kepentingan publik
dibandingkan kepentingan-kepentingan lainnya. Bagi publik sendiri, bila tidak
cermat dan cerdas dalam mengikuti perkembangan masalah ini, kedepan akan banyak
kerugian yang tidak seharusnya ditanggung oleh publik secara luas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar