Saat
itu aku sungguh sangat yakin, bahwa Allah swt memang telah menunjukkan jalan
ini untuk aku lewati. Jalan yang mengharuskan aku agar segera bergerak cepat
guna mendapatkan uang minimal Rp. 900.000,- untuk biaya registrasi kuliah.
Kampus memberikan waktu 14 hari sejak pengumaman SPMB 5 Agustus 2006. Bila
lewat dari tenggat waktu tersebut, maka calon mahasiswa dianggap mengundurkan
diri.
Aku
pun kemudian coba bergerak cepat guna mendapatkan sejumlah uang. Sehari setelah
pengumaman aku memohon izin orang tua untuk pergi ke tempat saudara perempuanku
di Bala Raja, Tangerang, Banten. Sebelum berangkat aku sudah lebih dulu
menginformasikan kepada saudara perempuanku bahwa aku diterima di Unila dan
hendak ke tempatnya. Dengan senang hati ia menyambut kabar itu. Tanpa beban, ia
kemudian berkata akan memberikan sedikit uang agar aku bisa kuliah.
Ia
bekerja sebagai buruh pabrik sepatu di sana. Sebetulnya aku sangat tidak tega
meminta bantuan kepadanya, karena aku tahu penghasilannya perbulan tidaklah
seberapa. Namun aku tidak memiliki banyak pilihan, saat itu aku membutuhkan
uang secepatnya. Sosok yang telah memberikan cahaya harapan kepadaku yang kedua
ini tidak lain adalah saudara perempuanku yang bernama Resti Purwati.
Sejak
kecil aku memanggilnya dengan panggilan Eti, meski kalau lewat sms aku
memanggilnya Teteh (seterusnya pake panggilan teteh.red). Usia kami hanya terpaut 13 bulan, karena ia lahir pada 25
Desember 1986. Ia dahulu pernah bersekolah di SMK 1 Juni Metro jurusan
Sekretaris.
Ia
tidak seberuntung aku saat ini. Ketika lulus SMK tahun 2005, sebetulnya tetehku
memiliki keinginan besar untuk kuliah. Namun apa daya, orang tua tak memiliki
biaya. Apalagi mindset orang tua dulu
yang masih menganggap kalau wanita tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, karena
ujung-ujungnya juga nanti hanya bekerja di dapur, sumur, dan kasur. Memang
sangat kolot tapi di daerahku realitas seperti itu masih saja terjadi hingga
kini. Hal yang membuat harapan tetehku untuk bisa kuliah semakin tertutup.
Oleh
karena itu, pasca lulus sekolah, tetehku langsung mengikuti jejak bibiku untuk
bekerja sebagai buruh pabrik di sana. Butuh waktu beberapa bulan sampai
akhirnya tetehku mendapatkan pekerjaan sebagai buruh pabrik. Meski dengan
sistem outsourching yang banyak
membuat masa depan buruh menjadi tidak jelas, toh tetap saja bekerja sebagai
buruh menjadi pilihan kebanyakan masyarakat perantau dari desa yang berharap
mengubah nasib di kota. Tidak terkecuali dengan teteh dan beberapa saudaraku.
Setelah
hampir 8 jam dari rumah melewati jalan panjang menaiki bus dan mengarungi
lautan dengan kapal laut, akhirnya aku sampai di rumah kontrakan tetehku di
Bala Raja. Tetehku ternyata telah menanti kehadiranku. Aku diberi sejumlah uang
hasil menjual cincin emas yang bulan lalu ia beli. Cincin emas itu dibeli dari
uang tabungan tetehku hasil dari sebagian gajinya yang ia sisihkan setiap
bulan. Ia baru bekerja sekitar 5 bulan, dan hatiku sungguh sangat haru dan
sedih menerima uang itu.
Namun,
uang dari tetehku belumlah cukup untuk biaya registrasi kuliah, akhirnya aku
meminjam sejumlah uang kepada bibiku yang juga tinggal di rumah kontrakan itu.
Bibiku yang satu ini memang sangat mendukung aku untuk kuliah, sehingga dengan
senang hati ia meminjamkan uang.
Tidak
semua bibi atau pamanku mendukung aku kuliah. Selain bibiku yang serumah dengan
tetehku, lainnya cenderung menasehatiku agar bekerja saja di Tangerang atau
Jakarta. Niat mereka sebetulnya sangat mulia, karena mereka tahu bagaimana kondisi
keluargaku saat itu. Bahkan, salah satu pamanku mengatakan sesuatu yang
cenderung memukul balik semangatku untuk kuliah.
Pamanku
yang puluhan tahun menjadi teknisi AC di suatu perusahaan berkata kalau di
tempatnya bekerja banyak sekali sarjana-sarjana yang tidak bisa apa-apa. Bahkan
banyak kenalannya yang menjadi tukang ojek, becak, bahkan menganggur meski
memiliki gelar sarjana. “Kuliah atau enggak kuliah sama aja, ga ada bedanya,”
ujar pamanku saat itu. Namun aku tidak peduli dengan semua itu, aku tetap dalam
pendirianku, aku ingin kuliah untuk merubah nasib keluarga dan meraih visi
besarku!
Akhirnya,
aku pulang ke Lampung dengan membawa sejumlah uang. Uang tersebut tidak banyak,
namun cukup untuk biaya daftar ulang, beberapa perlengkapan belajar, dan uang
bensin untuk transportasi kuliah selama sebulan. Jarak rumahku ke kampus cukup
lumayan jauh, sekitar 28 Km. Aku menggunakan motor yang masih belum lunas
kreditannya untuk kuliah agar dapat menghemat ongkos.
Aku
mencoba kuliah dengan sehemat mungkin. Aku harus menghemat karena ongkos
transportasi dan makan seadanya cukup besar bila diakumulasikan sebulan. Aku
tidak boleh mengeluarkan uang lebih dari Rp. 4000,- bila ingin bisa pulang
sampai rumah. Karena bila lebih dari itu, maka jatah untuk membeli bensin tidak
akan cukup. Untunglah di FISIP ada Kantin Emak yang punya menu dengan harga
terjangkau namun tetap memiliki cita rasa yang enak (ah jadi kangen nasi pecel
kantin emak…hmmh).
Selama
semester pertama, orangtuaku menanggung ongkos kuliah. Untuk biaya lainnya
seperti fotokopi, buku, dll aku mengandalkan uang dari hasil “bekerja” sebulan
(lihat bagian 1.red) yang cukup untuk
ongkos seminggu. Bersyukur, di semester pertama itu aku mendapatkan beasiswa
PPA (Peningkatan Prestasi Akademik) dari kampus. Dari 10 orang mahasiswa yang
dianggap memiliki nilai Ujian Nasional dan Raport yang bagus, aku satu
diantara mereka. Meski tidak dapat menutupi biaya SPP semester kedua, namun
uang beasiswa tersebut cukup meringankan biaya kuliahku.
Ujian
sebenarnya dari perjuanganku ternyata hadir di awal semester kedua. Kondisi
ekonomi keluarga semakin parah. Sampai-sampai orang tuaku terkena jebakan
lintah darat. Aku yang saat itu sedang menjadi bagian dari utusan mahasiswa
Ilmu komunikasi Unila dalam acara Musyawarah Nasional Ikatan Mahasiswa Ilmu
Komunikasi Indonesia di Cibubur-Jakarta, mendapatkan telepon dari nomor tak
dikenal.
Ternyata
itu telpon dari ibuku. Suaranya terisak-isak penuh kesedihan. Ibuku memberikan
kabar, kalau ia saat ini sudah berada di Riau. Ia sedang menunggu kapal yang
akan memberangkatkannya ke Malaysia. Meski tidak diizinkan oleh ayahku, namun
karena sifat ibu yang keras, ia tetap berangkat melalui kenalannya seorang
wanita yang juga agen penyalur TKI ke Malaysia. Tentunya bukan pekerjaan disektor
formal, karena ibuku hanyalah lulusan Sekolah Menengah Pertama. Sepanjang
pembicaraan ditelpon tersebut ibuku menangis. Berkali-kali wanita mulia itu
mengingatkanku agar menjaga adikku yang masih kelas 3 SD. Beliau bersikeras
pergi untuk mencari uang agar keluarga tidak terus-terusan dihisap oleh lintah
darat.
Aku
sangat sedih, sangat emosional, juga sangat kecewa karena tidak mampu berbuat
apa-apa untuk keluarga. Sejak saat itu aku semakin bertekad untuk bekerja keras
agar dapat segera lulus kuliah dan mencari uang untuk mengurangi beban
keluarga. Ujian itu semakin sulit lagi ketika tetehku yang selalu mendukungku
mengalami sakit keras yang membuatnya harus berhenti bekerja.
Akhirnya
ayahku menjemputnya pulang ke rumah untuk diobati. Tetehku sakit karena
fisiknya lemah harus berangkat kerja seusai shalat shubuh dan pulang pukul
sepuluh malam. Ayahku pun saat itu tidak bekerja karena tidak ada modal. Untuk
bekerja di sektor formal rasanya tidak mungkin karena ayahku hanya sekolah
sampai kelas 5 SD. Ini adalah salah satu fase tersulit yang pernah aku lewati
selama hidupku. Berat, tapi saat itu aku selalu mengadu kepada Yang Maha
Pemberi pertolongan. Sambil terus berusaha dan terus memelihara mimpi-mimpi
yang sudah kutuliskan, aku yakin bahwa aku bisa mewujudkan itu semua!
Aku
kembali teringat akan janji-Nya, “Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu kaum
hingga kaum itu mengubah nasib mereka sendiri” (Ar’ad:11). Janji-Nya pasti, dan
aku sangat percaya akan hal itu. Aku menyadari bahwa hanya mengeluh atas apa
yang terjadi tidaklah akan mengubah apa-apa. Menghadapi persoalan dengan sabar
dan ikhlas adalah cara yang ampuh untuk semakin mematangkan diri.
Apapun
yang terjadi jam kehidupan akan terus berputar. Diantaranya ada menit yang
harus dilalui dengan manis. Ada pula menit yang harus dilalui dengan pahit.
Namun bila setiap detiknya dijalani dengan rasa syukur, maka aku yakin
pintu-pintu rahmat dan pertolongan akan dibukakan oleh-Nya dengan cara yang
tidak disangka-sangka. Dan aku sering kali merasakannya. Terimakasih banyak
tetehku yang baik atas cahaya itu. J J J
Tidak ada komentar:
Posting Komentar