Jumat, 19 Oktober 2012

Secercah Cahaya Dari Sosok Yang Berjasa (2)

Selangkah perjalanan meraih mimpi telah terlewati. Pengumaman kelulusan ujian SPMB 2006 benar-benar telah mengobarkan semangat hidupku kembali. Semangat untuk terus melanjutkan perjuangan agar dapat menggunakan almamater khas kampus hijau Universitas Lampung diakhir Agustus saat orientasi mahaiswa baru dilaksanakan. Termasuk juga semangat untuk melaksanakan nazar yang kuucapkan sebelum pengumuman kelulusan. Bila aku lulus SPMB, maka aku bernazar akan melaksanakan puasa senin-kamis selama 40 minggu dan membersihkan masjid depan rumah selama 2 bulan.

Saat itu aku sungguh sangat yakin, bahwa Allah swt memang telah menunjukkan jalan ini untuk aku lewati. Jalan yang mengharuskan aku agar segera bergerak cepat guna mendapatkan uang minimal Rp. 900.000,- untuk biaya registrasi kuliah. Kampus memberikan waktu 14 hari sejak pengumaman SPMB 5 Agustus 2006. Bila lewat dari tenggat waktu tersebut, maka calon mahasiswa dianggap mengundurkan diri.

Aku pun kemudian coba bergerak cepat guna mendapatkan sejumlah uang. Sehari setelah pengumaman aku memohon izin orang tua untuk pergi ke tempat saudara perempuanku di Bala Raja, Tangerang, Banten. Sebelum berangkat aku sudah lebih dulu menginformasikan kepada saudara perempuanku bahwa aku diterima di Unila dan hendak ke tempatnya. Dengan senang hati ia menyambut kabar itu. Tanpa beban, ia kemudian berkata akan memberikan sedikit uang agar aku bisa kuliah.

Ia bekerja sebagai buruh pabrik sepatu di sana. Sebetulnya aku sangat tidak tega meminta bantuan kepadanya, karena aku tahu penghasilannya perbulan tidaklah seberapa. Namun aku tidak memiliki banyak pilihan, saat itu aku membutuhkan uang secepatnya. Sosok yang telah memberikan cahaya harapan kepadaku yang kedua ini tidak lain adalah saudara perempuanku yang bernama Resti Purwati.

Sejak kecil aku memanggilnya dengan panggilan Eti, meski kalau lewat sms aku memanggilnya Teteh (seterusnya pake panggilan teteh.red). Usia kami hanya terpaut 13 bulan, karena ia lahir pada 25 Desember 1986. Ia dahulu pernah bersekolah di SMK 1 Juni Metro jurusan Sekretaris.

Ia tidak seberuntung aku saat ini. Ketika lulus SMK tahun 2005, sebetulnya tetehku memiliki keinginan besar untuk kuliah. Namun apa daya, orang tua tak memiliki biaya. Apalagi mindset orang tua dulu yang masih menganggap kalau wanita tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, karena ujung-ujungnya juga nanti hanya bekerja di dapur, sumur, dan kasur. Memang sangat kolot tapi di daerahku realitas seperti itu masih saja terjadi hingga kini. Hal yang membuat harapan tetehku untuk bisa kuliah semakin tertutup.

Oleh karena itu, pasca lulus sekolah, tetehku langsung mengikuti jejak bibiku untuk bekerja sebagai buruh pabrik di sana. Butuh waktu beberapa bulan sampai akhirnya tetehku mendapatkan pekerjaan sebagai buruh pabrik. Meski dengan sistem outsourching yang banyak membuat masa depan buruh menjadi tidak jelas, toh tetap saja bekerja sebagai buruh menjadi pilihan kebanyakan masyarakat perantau dari desa yang berharap mengubah nasib di kota. Tidak terkecuali dengan teteh dan beberapa saudaraku.

Setelah hampir 8 jam dari rumah melewati jalan panjang menaiki bus dan mengarungi lautan dengan kapal laut, akhirnya aku sampai di rumah kontrakan tetehku di Bala Raja. Tetehku ternyata telah menanti kehadiranku. Aku diberi sejumlah uang hasil menjual cincin emas yang bulan lalu ia beli. Cincin emas itu dibeli dari uang tabungan tetehku hasil dari sebagian gajinya yang ia sisihkan setiap bulan. Ia baru bekerja sekitar 5 bulan, dan hatiku sungguh sangat haru dan sedih menerima uang itu.

Namun, uang dari tetehku belumlah cukup untuk biaya registrasi kuliah, akhirnya aku meminjam sejumlah uang kepada bibiku yang juga tinggal di rumah kontrakan itu. Bibiku yang satu ini memang sangat mendukung aku untuk kuliah, sehingga dengan senang hati ia meminjamkan uang.

Tidak semua bibi atau pamanku mendukung aku kuliah. Selain bibiku yang serumah dengan tetehku, lainnya cenderung menasehatiku agar bekerja saja di Tangerang atau Jakarta. Niat mereka sebetulnya sangat mulia, karena mereka tahu bagaimana kondisi keluargaku saat itu. Bahkan, salah satu pamanku mengatakan sesuatu yang cenderung memukul balik semangatku untuk kuliah.

Pamanku yang puluhan tahun menjadi teknisi AC di suatu perusahaan berkata kalau di tempatnya bekerja banyak sekali sarjana-sarjana yang tidak bisa apa-apa. Bahkan banyak kenalannya yang menjadi tukang ojek, becak, bahkan menganggur meski memiliki gelar sarjana. “Kuliah atau enggak kuliah sama aja, ga ada bedanya,” ujar pamanku saat itu. Namun aku tidak peduli dengan semua itu, aku tetap dalam pendirianku, aku ingin kuliah untuk merubah nasib keluarga dan meraih visi besarku!

Akhirnya, aku pulang ke Lampung dengan membawa sejumlah uang. Uang tersebut tidak banyak, namun cukup untuk biaya daftar ulang, beberapa perlengkapan belajar, dan uang bensin untuk transportasi kuliah selama sebulan. Jarak rumahku ke kampus cukup lumayan jauh, sekitar 28 Km. Aku menggunakan motor yang masih belum lunas kreditannya untuk kuliah agar dapat menghemat ongkos.

Aku mencoba kuliah dengan sehemat mungkin. Aku harus menghemat karena ongkos transportasi dan makan seadanya cukup besar bila diakumulasikan sebulan. Aku tidak boleh mengeluarkan uang lebih dari Rp. 4000,- bila ingin bisa pulang sampai rumah. Karena bila lebih dari itu, maka jatah untuk membeli bensin tidak akan cukup. Untunglah di FISIP ada Kantin Emak yang punya menu dengan harga terjangkau namun tetap memiliki cita rasa yang enak (ah jadi kangen nasi pecel kantin emak…hmmh).

Selama semester pertama, orangtuaku menanggung ongkos kuliah. Untuk biaya lainnya seperti fotokopi, buku, dll aku mengandalkan uang dari hasil “bekerja” sebulan (lihat bagian 1.red) yang cukup untuk ongkos seminggu. Bersyukur, di semester pertama itu aku mendapatkan beasiswa PPA (Peningkatan Prestasi Akademik) dari kampus. Dari 10 orang mahasiswa yang dianggap memiliki nilai Ujian Nasional dan Raport yang bagus, aku satu diantara mereka. Meski tidak dapat menutupi biaya SPP semester kedua, namun uang beasiswa tersebut cukup meringankan biaya kuliahku.

Ujian sebenarnya dari perjuanganku ternyata hadir di awal semester kedua. Kondisi ekonomi keluarga semakin parah. Sampai-sampai orang tuaku terkena jebakan lintah darat. Aku yang saat itu sedang menjadi bagian dari utusan mahasiswa Ilmu komunikasi Unila dalam acara Musyawarah Nasional Ikatan Mahasiswa Ilmu Komunikasi Indonesia di Cibubur-Jakarta, mendapatkan telepon dari nomor tak dikenal.

Ternyata itu telpon dari ibuku. Suaranya terisak-isak penuh kesedihan. Ibuku memberikan kabar, kalau ia saat ini sudah berada di Riau. Ia sedang menunggu kapal yang akan memberangkatkannya ke Malaysia. Meski tidak diizinkan oleh ayahku, namun karena sifat ibu yang keras, ia tetap berangkat melalui kenalannya seorang wanita yang juga agen penyalur TKI ke Malaysia. Tentunya bukan pekerjaan disektor formal, karena ibuku hanyalah lulusan Sekolah Menengah Pertama. Sepanjang pembicaraan ditelpon tersebut ibuku menangis. Berkali-kali wanita mulia itu mengingatkanku agar menjaga adikku yang masih kelas 3 SD. Beliau bersikeras pergi untuk mencari uang agar keluarga tidak terus-terusan dihisap oleh lintah darat.

Aku sangat sedih, sangat emosional, juga sangat kecewa karena tidak mampu berbuat apa-apa untuk keluarga. Sejak saat itu aku semakin bertekad untuk bekerja keras agar dapat segera lulus kuliah dan mencari uang untuk mengurangi beban keluarga. Ujian itu semakin sulit lagi ketika tetehku yang selalu mendukungku mengalami sakit keras yang membuatnya harus berhenti bekerja.

Akhirnya ayahku menjemputnya pulang ke rumah untuk diobati. Tetehku sakit karena fisiknya lemah harus berangkat kerja seusai shalat shubuh dan pulang pukul sepuluh malam. Ayahku pun saat itu tidak bekerja karena tidak ada modal. Untuk bekerja di sektor formal rasanya tidak mungkin karena ayahku hanya sekolah sampai kelas 5 SD. Ini adalah salah satu fase tersulit yang pernah aku lewati selama hidupku. Berat, tapi saat itu aku selalu mengadu kepada Yang Maha Pemberi pertolongan. Sambil terus berusaha dan terus memelihara mimpi-mimpi yang sudah kutuliskan, aku yakin bahwa aku bisa mewujudkan itu semua!

Aku kembali teringat akan janji-Nya, “Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu kaum hingga kaum itu mengubah nasib mereka sendiri” (Ar’ad:11). Janji-Nya pasti, dan aku sangat percaya akan hal itu. Aku menyadari bahwa hanya mengeluh atas apa yang terjadi tidaklah akan mengubah apa-apa. Menghadapi persoalan dengan sabar dan ikhlas adalah cara yang ampuh untuk semakin mematangkan diri.

Apapun yang terjadi jam kehidupan akan terus berputar. Diantaranya ada menit yang harus dilalui dengan manis. Ada pula menit yang harus dilalui dengan pahit. Namun bila setiap detiknya dijalani dengan rasa syukur, maka aku yakin pintu-pintu rahmat dan pertolongan akan dibukakan oleh-Nya dengan cara yang tidak disangka-sangka. Dan aku sering kali merasakannya. Terimakasih banyak tetehku yang baik atas cahaya itu. J J J 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar